|
Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM (Menkum dan Ham),
Hamid Awaluddin, merealisasikan janjinya mempermudah perolehan status
WNI bagi anak-anak hasil perkawinan campuran. Pemberian status itu
berdasarkan Pasal 41 UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
Sebanyak 13 anak secara simbolis diberikan kewarganegaraan
ganda terbatas yang sekaligus menandai dimulainya babak baru bagi warga
negara asing yang berpeluang memperoleh status WNI. Dengan demikian,
ketika berusia 18 tahun anak-anak itu dapat memilih menjadi WNI
atau warga negara salah satu orang tuanya.
Di Indonesia, kontroversi seputar kewarganegaraan sudah ada
sejak masa kemerdekaan, terutama pengakuan terhadap warga Tionghoa.
Diakui atau tidak kaum etnis Tionghoa selalu menjadi korban kebiadaban
dari rezim yang berkuasa. Mereka dijadikan instrumen pemerintah untuk
mendatangkan dan mencari sumber-sumber ekonomi yang potensial dan
produktif, tetapi di sisi lain hak-hak kewarganegaraannya diberlakukan
diskriminatif. Padahal, etnis Tionghoa di Indonesia terbilang paling
banyak dan produktif, terutama dalam bidang ekonomi, perdagangan, ilmu
pengetahuan dan teknologi. Namun demikian, mereka tetap mengalami
kesulitan menjadi tenaga kerja negara (birokrat) dan pemimpin politik
di Indonesia.
Eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia bukanlah hal baru.
Pengakuan terhadap eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia telah
dilakukan sejak zaman kemerdekaan. Bahkan keberadaannya telah dimasukkan
ke dalam proses integrasi nasional yang dimulai sejak era
kemerdekaan sampai dengan tahun 1990-an menjelang jatuhnya rezim Orde
Baru Soeharto. Namun hubungan ini kerap diwarnai oleh persoalan
serius yaitu masalah “Pribumi dan Tionghoa” yang muncul secara laten
dan sporadis, dan kerap menjadi alat politik dari para elit
politik untuk mewujudkan cita-cita dan kepentingan politiknya.
Pribumi Non-pribumi
Jumlah orang Tionghoa cukup besar, tetapi karena sentimen
etnis yang masih dianggap peka dan sensitif – sampai tahun 2000 - jumlah
etnis itu di Indonesia tidak pernah dimasukkan ke dalam
sensus penduduk Republik Indonesia. Di masa Hindia Belanda,
berdasarkan sensus 1930, jumlah etnis Tionghoa mencapai 1,2 juta jiwa
kira-kira 2,03 % dari penduduk Indonesia.
Menurut pendapat lain, jumlah etnis Tionghoa di antara 2,5 % dan 3 % atau bahkan lebih besar, yaitu berkisar antara 4-5%. Sensus tahun 2000 tidak memberikan jumlah etnis Tionghoa yang lengkap. Hasil perhitungan menunjukkan angka 1,7 juta, atau kira-kira 0,86 %.
Dalam perhitungan Leo Suryadinata, Arifin dan Ananta, dengan
merujuk pada data sensus tahun 2000, jumlah penduduk Tionghoa (WNI dan
WNA) mencapai kira-kira 3 juta orang, yaitu sekitar 1,5%. Jumlah ini
lebih besar daripada sensus tahun 1930. Namun angka dalam persen
lebih rendah dibandingkan sensus pada tahun 1930. Menurunnya
persentase etnis Tionghoa mungkin disebabkan oleh tiga faktor utama:(1)
Angka kelahiran yang menurun, (2) Imigrasi ke luar negeri akibat gejolak
politik dan sosial, (3) Kebijakan asimilasi yang terjadi selama Orde
Baru.
Kebijakan negara terhadap minoritas etnis Tionghoa merupakan
suatu hal yang berdampak signifikan bagi integrasi nasional di
Indonesia. Namun upaya pengintegrasian tersebut tidak pernah berjalan
mulus. Menurut sejarah, masyarakat kolonial telah membeda-bedakan antara penduduk Indonesia berdasarkan
ras atau suku bangsa yang mempengaruhi pemikiran kaum nasionalis Indonesia,
mengakibatkan terpisahnya peranakan Tionghoa dari pergerakan nasional Indonesia.
Sementara itu, nasionalisme Tionghoa muncul lebih awal dari nasionalismeIndonesia.
Nasionalisme Tionghoa termasuk peranakan, tumbuh terpisah dari dan yang
dikehendaki pemerintah Indonesia “rezim Orde Baru” dengan
kebijakan asimilasinya. Di satu sisi kecenderungan mempertahankan
identitas etnisnya terdapat pada sebagian warga Tionghoa, sedangkan di
sisi lain mereka telah merasa menjadi bagian dan warga negara Indonesia
Nasionalisme Indonesia selalu dikonstruksi berdasarkan konsep
“kepribumian” (indigenous), dan etnis Tionghoa dikategorikan sebagai orang
asing atau Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) yang dianggap bukan
merupakan bagian dari nation Indonesia. Nation Indonesia didefinisikan
sebagai “milik” bangsa pribumi, yaitu kelompok yang mempunyai daerah
mereka sendiri.
Kesukubangsaan
Sementara itu, di kalangan etnis Tionghoa, berkembang perasaan
bahwa kedudukan mereka di Indonesia masih sebagai “orang asing” karena
elite dan massa di kalangan pribumi menitikberatkan pentingnya
menerapkan konsep kesukubangsaan dalam masyarakat Indonesia. Rupanya konsep
pribumi sebagai “tuan rumah” telah berakar di bumi Indonesia. Etnis
Tionghoa dianggap sebagai nonpribumi dan pendatang baru yang tidak bisa
diterima sebagai suku bangsa Indonesia sebelum
mereka mengasimilasi diri.
Meminjam perspektif Supardi Suparlan, pribumi juga mempunyai stereotipe tentang etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa dilihat sebagai kelompok yang menduduki tangga ekonomi lebih tinggi dan terpisah dari pribumi. Implikasinya, konsep masyarakat majemuk yang menekankan pada kesukubangsaan, akan selalu menempatkan posisi orang China sebagai orang asing, walaupun orang tersebut berstatus WNI. Secara umum ada pandangan yang mengatakan bahwa etnis Tionghoa yang non pribumi harus membaur menjadi pribumi kalau ingin diterima sebagai orang Indonesia Di satu sisi kecenderungan untuk mempertahankan identitas etnisnya terdapat pada sebagian warga etnik Tionghoa, sedangkan di sisi lain, mereka telah merasa menjadi bagian dari masyarakat Indonesia
Kerusuhan Mei 1998 telah membuka mata kaum Tionghoa, dan
sekaligus memberikan kesadaran baru tentang masalah rasialisme ini.
Dengan runtuhnya rezim Orde Baru Soeharto, kebijakan pemerintah Indonesia juga
berubah. Politik asimilasi telah dihapuskan secara resmi. Pilar-pilar
kebudayaan Tionghoa dipulihkan kembali, meskipun pembukaan sekolah
Tionghoa ala pemerintahan Soekarno masih tidak diizinkan. Kebebasan
menggunakan bahasa Tionghoa telah diakui, bahkan perayaan festival etnik
Tionghoa juga telah diizinkan oleh negara. Walaupun diskriminasi etnis
belum terkikis habis, namun minoritas etnis Tionghoa mulai mendapat
jaminan, sekurang-kurangnya dari sudut hukum.
Dengan munculnya era reformasi dan pemerintahan yang
demokratis serta semakin terbukanya pintu globalisasi, proses adaptasi etnis
Tionghoa di Indonesia mengalami perubahan secara radikal.
Dalam tingkatan tertentu, para akademisi dan analis sering mengungkapkan
bahwa multikulturalisme adalah cara yang lebih efektif ketimbang asimilasi.
Hal ini terbukti dari semakin banyaknya warga keturunan etnis Tionghoa yang
berkeinginan mengurus kewarganegarannya. Dengan terbitnya UU Kewarganegaraan
diharapkan persoalan diskriminasi etnis Tionghoa yang menghantui selama
puluhan tahun dapat terselesaikan secara bermartabat.
Malikul Kusno, Penulis adalah dosen dan Associate Director Laboratorium
Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Source : Sinar Harapan, 9 Desember 2006
http://www.gandingo.org/index.php?option=com_content&view=article&id=90:uu-kewarganegaraan-dan-etnis-tionghoa&catid=3:artikelberita&Itemid=11
|
Minggu, 04 Mei 2014
UU Kewarganegaraan dan Etnis Tionghoa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar