Minggu, 04 Mei 2014

UU Kewarganegaraan dan Etnis Tionghoa





Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM (Menkum dan Ham), Hamid Awaluddin, merealisasikan janjinya mempermudah perolehan status WNI bagi anak-anak hasil perkawinan campuran. Pemberian status itu  berdasarkan Pasal 41 UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
Sebanyak 13 anak secara simbolis diberikan kewarganegaraan ganda  terbatas yang sekaligus menandai dimulainya babak baru bagi warga  negara asing yang berpeluang memperoleh status WNI. Dengan demikian,  ketika berusia 18 tahun anak-anak itu dapat memilih menjadi WNI atau warga negara salah satu orang tuanya.
Di Indonesia, kontroversi seputar kewarganegaraan sudah ada sejak  masa kemerdekaan, terutama pengakuan terhadap warga Tionghoa. Diakui  atau tidak kaum etnis Tionghoa selalu menjadi korban kebiadaban dari rezim yang berkuasa. Mereka dijadikan instrumen pemerintah untuk mendatangkan dan mencari  sumber-sumber ekonomi yang potensial dan produktif, tetapi di sisi  lain hak-hak kewarganegaraannya diberlakukan diskriminatif. Padahal, etnis Tionghoa di Indonesia terbilang paling banyak dan produktif, terutama dalam bidang ekonomi, perdagangan, ilmu pengetahuan dan  teknologi. Namun demikian, mereka tetap mengalami kesulitan menjadi  tenaga kerja negara (birokrat) dan pemimpin politik di Indonesia.        
Eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia bukanlah hal baru. Pengakuan  terhadap eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia telah dilakukan sejak zaman kemerdekaan. Bahkan keberadaannya telah dimasukkan ke   dalam proses integrasi nasional yang dimulai sejak era kemerdekaan  sampai dengan tahun 1990-an menjelang jatuhnya rezim Orde Baru Soeharto. Namun hubungan ini kerap diwarnai oleh persoalan serius yaitu masalah “Pribumi dan Tionghoa” yang muncul secara laten dan sporadis, dan kerap menjadi alat politik dari para elit politik untuk mewujudkan cita-cita dan kepentingan politiknya. 
Pribumi Non-pribumi
Jumlah orang Tionghoa cukup besar, tetapi karena sentimen etnis yang masih dianggap peka dan sensitif – sampai tahun 2000 - jumlah etnis  itu di Indonesia tidak pernah dimasukkan ke dalam sensus penduduk Republik Indonesia. Di masa Hindia Belanda, berdasarkan sensus 1930, jumlah etnis Tionghoa mencapai 1,2 juta jiwa kira-kira 2,03 % dari penduduk Indonesia.

Menurut pendapat lain, jumlah etnis Tionghoa di antara 2,5 % dan 3 %  atau bahkan lebih besar, yaitu berkisar antara 4-5%. Sensus tahun  2000 tidak memberikan jumlah etnis Tionghoa yang lengkap. Hasil  perhitungan menunjukkan angka 1,7 juta, atau kira-kira 0,86 %.
Dalam perhitungan Leo Suryadinata, Arifin dan Ananta, dengan merujuk  pada data sensus tahun 2000, jumlah penduduk Tionghoa (WNI dan WNA) mencapai kira-kira 3 juta orang, yaitu sekitar 1,5%. Jumlah ini  lebih besar daripada sensus tahun 1930. Namun angka dalam persen  lebih rendah dibandingkan sensus pada tahun 1930. Menurunnya  persentase etnis Tionghoa mungkin disebabkan oleh tiga faktor utama:(1) Angka kelahiran yang menurun, (2) Imigrasi ke luar negeri akibat gejolak politik dan sosial, (3) Kebijakan asimilasi yang terjadi selama Orde Baru.
Kebijakan negara terhadap minoritas etnis Tionghoa merupakan suatu hal yang berdampak signifikan bagi integrasi nasional di Indonesia. Namun upaya pengintegrasian tersebut tidak pernah berjalan mulus. Menurut sejarah, masyarakat kolonial telah membeda-bedakan antara penduduk Indonesia berdasarkan ras atau suku bangsa yang  mempengaruhi pemikiran kaum nasionalis Indonesia, mengakibatkan  terpisahnya peranakan Tionghoa dari pergerakan nasional Indonesia. Sementara itu, nasionalisme Tionghoa muncul lebih awal dari nasionalismeIndonesia. Nasionalisme Tionghoa termasuk peranakan, tumbuh terpisah dari dan yang dikehendaki pemerintah Indonesia  “rezim Orde Baru” dengan kebijakan asimilasinya. Di satu sisi kecenderungan mempertahankan identitas etnisnya terdapat pada sebagian warga Tionghoa, sedangkan di sisi lain mereka telah merasa menjadi bagian dan warga negara Indonesia Nasionalisme Indonesia selalu dikonstruksi berdasarkan konsep “kepribumian” (indigenous), dan etnis Tionghoa dikategorikan sebagai orang asing atau Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) yang dianggap bukan merupakan bagian dari nation Indonesia. Nation Indonesia didefinisikan sebagai “milik” bangsa pribumi, yaitu kelompok yang mempunyai daerah mereka sendiri.
          
Kesukubangsaan
Sementara itu, di kalangan etnis Tionghoa, berkembang perasaan bahwa kedudukan mereka di Indonesia masih sebagai “orang asing” karena  elite dan massa di kalangan pribumi menitikberatkan pentingnya  menerapkan konsep kesukubangsaan dalam masyarakat Indonesia. Rupanya konsep pribumi sebagai “tuan rumah” telah berakar di bumi Indonesia. Etnis Tionghoa dianggap sebagai nonpribumi dan pendatang baru yang tidak bisa diterima sebagai suku bangsa Indonesia sebelum mereka mengasimilasi diri.

Meminjam perspektif Supardi Suparlan, pribumi juga mempunyai stereotipe tentang etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa dilihat sebagai kelompok yang menduduki tangga ekonomi lebih tinggi dan terpisah dari pribumi. Implikasinya, konsep masyarakat majemuk yang menekankan pada kesukubangsaan, akan selalu menempatkan posisi orang China sebagai orang asing, walaupun orang tersebut berstatus WNI. Secara umum ada pandangan yang mengatakan bahwa etnis Tionghoa yang non pribumi harus membaur menjadi pribumi kalau ingin diterima  sebagai orang Indonesia Di satu sisi kecenderungan untuk mempertahankan identitas etnisnya terdapat pada sebagian warga etnik  Tionghoa, sedangkan di sisi lain, mereka telah merasa menjadi bagian  dari masyarakat Indonesia
Kerusuhan Mei 1998 telah membuka mata kaum Tionghoa, dan sekaligus  memberikan kesadaran baru tentang masalah rasialisme ini. Dengan runtuhnya rezim Orde Baru Soeharto, kebijakan pemerintah Indonesia  juga berubah. Politik asimilasi telah dihapuskan secara resmi. Pilar-pilar kebudayaan Tionghoa dipulihkan kembali, meskipun  pembukaan sekolah Tionghoa ala pemerintahan Soekarno masih tidak  diizinkan. Kebebasan menggunakan bahasa Tionghoa telah diakui, bahkan perayaan festival etnik Tionghoa juga telah diizinkan oleh negara. Walaupun diskriminasi etnis belum terkikis habis, namun  minoritas etnis Tionghoa mulai mendapat jaminan, sekurang-kurangnya dari sudut hukum.
Dengan munculnya era reformasi dan pemerintahan yang demokratis serta semakin terbukanya pintu globalisasi, proses adaptasi etnis Tionghoa di Indonesia mengalami perubahan secara radikal. Dalam tingkatan tertentu, para akademisi dan analis sering mengungkapkan bahwa multikulturalisme adalah cara yang lebih efektif ketimbang asimilasi. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya warga keturunan etnis Tionghoa yang berkeinginan mengurus kewarganegarannya. Dengan terbitnya UU Kewarganegaraan diharapkan persoalan diskriminasi etnis Tionghoa yang menghantui selama puluhan tahun dapat terselesaikan secara bermartabat. 
Malikul Kusno, Penulis adalah dosen dan Associate Director Laboratorium Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Source : Sinar Harapan, 9 Desember 2006
http://www.gandingo.org/index.php?option=com_content&view=article&id=90:uu-kewarganegaraan-dan-etnis-tionghoa&catid=3:artikelberita&Itemid=11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar