Minggu, 04 Mei 2014

Masalah Status Kewarganegaraan


A.    Perkawinan Campuran

Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.

Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan untuk memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.

B.    Permasalahan yang Timbul

Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak.UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.

Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran. Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah :“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.


Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup.Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum.Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain.

Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum.Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum.

C.    Kewarganegaraan Ganda

Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi.Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut.Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan.Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No. 1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.
Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang, dikenal dengan adanya asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewaraganegaraan berdasarkan perkawinan.Dalam penentuan kewarganegaraan didasarkan kepada sisi kelahiran dikenal dua asas yaitu asas ius soli danius sanguinis.Ius artinya hukum atau dalil.Soli berasal dari kata solum yang artinya negari atau tanah.Sanguinis berasal dari kata sanguis yang artinya darah.Asas Ius Soli; Asas yang menyatakan bahawa kewarganegaraan seseorang ditentukan dari tempat dimana orang tersebut dilahirkan.Asas Ius Sanguinis; Asas yang menyatakan bahwa kewarganegaraan sesorang ditentukan beradasarkan keturunan dari orang tersebut.
Selain dari sisi kelahiran, penentuan kewarganegaraan dapat didasarkan pada aspek perkawinan yang mencakupa asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.Asas persamaan hukum didasarkan pandangan bahwa suami istri adalah suatu ikatan yang tidak terpecahkan sebagai inti dari masyarakat.Dalam menyelenggarakan kehidupan bersama, suami istri perlu mencerminkan suatu kesatuan yang bulat termasuk dalam masalah kewarganegaraan. Berdasarkan asas ini diusahakan ststus kewarganegaraan suami dan istri adalah sama dan satu.
Penentuan kewarganegaraan yang berbeda-beda oleh setiap negara dapat menciptakan problem kewarganegaraan bagi seorang warga.Secara ringkas problem kewarganegaraan adalah munculnya apatride dan bipatride.Appatride adalah istilah untuk orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan.Bipatride adalah istilah untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan ganda (rangkap dua).Bahkan dapat muncul multipatride yaitu istilah untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan yang banyak (lebih dari 2).

D.    Undang-Undang yang Mengartur Warga Negara
Adapun Undang-Undang yang mengatur tentang warga negara adalah Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.Pewarganegaraan adalah tatacara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan.Dalam Undang-Undang dinyatakan bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh memalului pewarganegaraan.
Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon juika memenuhi persyaratan sebagai berikut: telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, sehat jasmani dan rohani, dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun, jika dengan memperoleh kewarganegaraan Indonesia, tidak menjadi kewarganegaraan ganda, mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap, membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.

Hilangnya Kewarganegaraan Indonesia diantaranya; memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri, tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu, dinyatakan hilang kewarganegaraan oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan, masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden, secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undngan hanya dapat dijabat oleh warga negara Indonesia, secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut, tidak diwajibkan tapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yangbersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing, mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya, bertempat tinggal diluar wilayah negara republic Indonesia selama 5 (liama0 tahun berturut-turut bukan dalam rangaka dinas negara, tanpa alas an yang sah dan dengan sngaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonedia sebelum jangka waktu 5(liama) tahun itu berakhir dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernytaaan ingin tetap menjadi warga Negara Indonesia kepada perwakilan RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal perwakilan RI tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan. 

UU Kewarganegaraan dan Etnis Tionghoa





Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM (Menkum dan Ham), Hamid Awaluddin, merealisasikan janjinya mempermudah perolehan status WNI bagi anak-anak hasil perkawinan campuran. Pemberian status itu  berdasarkan Pasal 41 UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
Sebanyak 13 anak secara simbolis diberikan kewarganegaraan ganda  terbatas yang sekaligus menandai dimulainya babak baru bagi warga  negara asing yang berpeluang memperoleh status WNI. Dengan demikian,  ketika berusia 18 tahun anak-anak itu dapat memilih menjadi WNI atau warga negara salah satu orang tuanya.
Di Indonesia, kontroversi seputar kewarganegaraan sudah ada sejak  masa kemerdekaan, terutama pengakuan terhadap warga Tionghoa. Diakui  atau tidak kaum etnis Tionghoa selalu menjadi korban kebiadaban dari rezim yang berkuasa. Mereka dijadikan instrumen pemerintah untuk mendatangkan dan mencari  sumber-sumber ekonomi yang potensial dan produktif, tetapi di sisi  lain hak-hak kewarganegaraannya diberlakukan diskriminatif. Padahal, etnis Tionghoa di Indonesia terbilang paling banyak dan produktif, terutama dalam bidang ekonomi, perdagangan, ilmu pengetahuan dan  teknologi. Namun demikian, mereka tetap mengalami kesulitan menjadi  tenaga kerja negara (birokrat) dan pemimpin politik di Indonesia.        
Eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia bukanlah hal baru. Pengakuan  terhadap eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia telah dilakukan sejak zaman kemerdekaan. Bahkan keberadaannya telah dimasukkan ke   dalam proses integrasi nasional yang dimulai sejak era kemerdekaan  sampai dengan tahun 1990-an menjelang jatuhnya rezim Orde Baru Soeharto. Namun hubungan ini kerap diwarnai oleh persoalan serius yaitu masalah “Pribumi dan Tionghoa” yang muncul secara laten dan sporadis, dan kerap menjadi alat politik dari para elit politik untuk mewujudkan cita-cita dan kepentingan politiknya. 
Pribumi Non-pribumi
Jumlah orang Tionghoa cukup besar, tetapi karena sentimen etnis yang masih dianggap peka dan sensitif – sampai tahun 2000 - jumlah etnis  itu di Indonesia tidak pernah dimasukkan ke dalam sensus penduduk Republik Indonesia. Di masa Hindia Belanda, berdasarkan sensus 1930, jumlah etnis Tionghoa mencapai 1,2 juta jiwa kira-kira 2,03 % dari penduduk Indonesia.

Menurut pendapat lain, jumlah etnis Tionghoa di antara 2,5 % dan 3 %  atau bahkan lebih besar, yaitu berkisar antara 4-5%. Sensus tahun  2000 tidak memberikan jumlah etnis Tionghoa yang lengkap. Hasil  perhitungan menunjukkan angka 1,7 juta, atau kira-kira 0,86 %.
Dalam perhitungan Leo Suryadinata, Arifin dan Ananta, dengan merujuk  pada data sensus tahun 2000, jumlah penduduk Tionghoa (WNI dan WNA) mencapai kira-kira 3 juta orang, yaitu sekitar 1,5%. Jumlah ini  lebih besar daripada sensus tahun 1930. Namun angka dalam persen  lebih rendah dibandingkan sensus pada tahun 1930. Menurunnya  persentase etnis Tionghoa mungkin disebabkan oleh tiga faktor utama:(1) Angka kelahiran yang menurun, (2) Imigrasi ke luar negeri akibat gejolak politik dan sosial, (3) Kebijakan asimilasi yang terjadi selama Orde Baru.
Kebijakan negara terhadap minoritas etnis Tionghoa merupakan suatu hal yang berdampak signifikan bagi integrasi nasional di Indonesia. Namun upaya pengintegrasian tersebut tidak pernah berjalan mulus. Menurut sejarah, masyarakat kolonial telah membeda-bedakan antara penduduk Indonesia berdasarkan ras atau suku bangsa yang  mempengaruhi pemikiran kaum nasionalis Indonesia, mengakibatkan  terpisahnya peranakan Tionghoa dari pergerakan nasional Indonesia. Sementara itu, nasionalisme Tionghoa muncul lebih awal dari nasionalismeIndonesia. Nasionalisme Tionghoa termasuk peranakan, tumbuh terpisah dari dan yang dikehendaki pemerintah Indonesia  “rezim Orde Baru” dengan kebijakan asimilasinya. Di satu sisi kecenderungan mempertahankan identitas etnisnya terdapat pada sebagian warga Tionghoa, sedangkan di sisi lain mereka telah merasa menjadi bagian dan warga negara Indonesia Nasionalisme Indonesia selalu dikonstruksi berdasarkan konsep “kepribumian” (indigenous), dan etnis Tionghoa dikategorikan sebagai orang asing atau Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) yang dianggap bukan merupakan bagian dari nation Indonesia. Nation Indonesia didefinisikan sebagai “milik” bangsa pribumi, yaitu kelompok yang mempunyai daerah mereka sendiri.
          
Kesukubangsaan
Sementara itu, di kalangan etnis Tionghoa, berkembang perasaan bahwa kedudukan mereka di Indonesia masih sebagai “orang asing” karena  elite dan massa di kalangan pribumi menitikberatkan pentingnya  menerapkan konsep kesukubangsaan dalam masyarakat Indonesia. Rupanya konsep pribumi sebagai “tuan rumah” telah berakar di bumi Indonesia. Etnis Tionghoa dianggap sebagai nonpribumi dan pendatang baru yang tidak bisa diterima sebagai suku bangsa Indonesia sebelum mereka mengasimilasi diri.

Meminjam perspektif Supardi Suparlan, pribumi juga mempunyai stereotipe tentang etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa dilihat sebagai kelompok yang menduduki tangga ekonomi lebih tinggi dan terpisah dari pribumi. Implikasinya, konsep masyarakat majemuk yang menekankan pada kesukubangsaan, akan selalu menempatkan posisi orang China sebagai orang asing, walaupun orang tersebut berstatus WNI. Secara umum ada pandangan yang mengatakan bahwa etnis Tionghoa yang non pribumi harus membaur menjadi pribumi kalau ingin diterima  sebagai orang Indonesia Di satu sisi kecenderungan untuk mempertahankan identitas etnisnya terdapat pada sebagian warga etnik  Tionghoa, sedangkan di sisi lain, mereka telah merasa menjadi bagian  dari masyarakat Indonesia
Kerusuhan Mei 1998 telah membuka mata kaum Tionghoa, dan sekaligus  memberikan kesadaran baru tentang masalah rasialisme ini. Dengan runtuhnya rezim Orde Baru Soeharto, kebijakan pemerintah Indonesia  juga berubah. Politik asimilasi telah dihapuskan secara resmi. Pilar-pilar kebudayaan Tionghoa dipulihkan kembali, meskipun  pembukaan sekolah Tionghoa ala pemerintahan Soekarno masih tidak  diizinkan. Kebebasan menggunakan bahasa Tionghoa telah diakui, bahkan perayaan festival etnik Tionghoa juga telah diizinkan oleh negara. Walaupun diskriminasi etnis belum terkikis habis, namun  minoritas etnis Tionghoa mulai mendapat jaminan, sekurang-kurangnya dari sudut hukum.
Dengan munculnya era reformasi dan pemerintahan yang demokratis serta semakin terbukanya pintu globalisasi, proses adaptasi etnis Tionghoa di Indonesia mengalami perubahan secara radikal. Dalam tingkatan tertentu, para akademisi dan analis sering mengungkapkan bahwa multikulturalisme adalah cara yang lebih efektif ketimbang asimilasi. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya warga keturunan etnis Tionghoa yang berkeinginan mengurus kewarganegarannya. Dengan terbitnya UU Kewarganegaraan diharapkan persoalan diskriminasi etnis Tionghoa yang menghantui selama puluhan tahun dapat terselesaikan secara bermartabat. 
Malikul Kusno, Penulis adalah dosen dan Associate Director Laboratorium Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Source : Sinar Harapan, 9 Desember 2006
http://www.gandingo.org/index.php?option=com_content&view=article&id=90:uu-kewarganegaraan-dan-etnis-tionghoa&catid=3:artikelberita&Itemid=11

Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI)

  
1. Apa perlu surat bukti (SBKRI) untuk membuktikan seseorang adalah warga negara Indonesia? 2. Apakah penerbitan SBKRI terhadap WNI keturunan oleh Kantor Mentri Kehakiman bisa dikategorikan pelanggaran HAM dan/atau diskrminasi mengingat WNI yang bukan keturunan cukup dengan KTP untuk membuktikan kewarga-negaraannya?; 3. Apakah seorang WNI keturunan bisa mencalonkan diri jadi presiden ( mengingat Gus Dur mengakui dia ada keturunan Cina dari garis keturunan dari ibunya ); 4. Apakah masih ada pembatasan baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi untuk WNI keturunan, untuk masuk keperguruan tinggi negri seperti ITB, UI, UGM, UNPAD dan lain-lain?; 5. Apakah di negara kita masih ada Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan SK. Menteri yang bersifat diskriminasi terhadap WNI keturunan?


1)     Tidak perlu. Ketentuan yang mempersyaratkan penggunaan SBKRI telah dihapus dengan Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996 Tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang ditindaklanjuti dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 25 Tahun 1996 Pelaksanaan Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1996.
Pasal 4 Keppres No. 56 Tahun 1996 menentukan sebagai berikut.
1. Untuk kepentingan tertentu yang memerlukan bukti kewarganegaraan Republik Indonesia, isteri dan atau anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2, cukup mempergunakan Keputusan Presiden mengenai pemberian kewarganegaraan suami/ayah atau ibunya beserta berita acara pengambilan sumpah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, atau Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Keluarga, atau Akte Kelahiran yang bersangkutan.
2. Bagi warga negara Republik Indonesia yang telah memiliki Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Keluarga, atau Akte Kelahiran, pemenuhan kebutuhan persyaratan untuk kepentingan tertentu tersebut cukup menggunakan Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Keluarga, atau Akte Kelahiran tersebut.

Pasal 5 Keppres No. 56 Tahun 1996 menetapkan bahwa dengan berlakunya Keppresi, maka segala peraturan perundang-undangan yang untuk kepentingan tertentu mempersyaratkan SBKRI, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Instruksi Mendagri No. 25 Tahun 1996 menetapkan bahwa Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, atau Kartu Tanda Penduduk sebagai bukti diri WNI, serta menghapus semua produk hukum daerah yang mewajibkan bagi isteri dan anak-anak, untuk kepentingan tertentu melampirkan SBKRI.

2)     Tidak. Penerbitan SBKRI oleh Menteri Kehakiman bukan pelanggaran HAM dan bukan diskriminasi. 
Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya (pasal 1 angka 3 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia). 
Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (pasal 1 angka 3 UU No. 39 Tahun 1999). 
Menjawab pertanyaan Saudara, penerbitan SBKRI untuk WNI keturunan sebenarnya tidak perlu, apalagi orang tua dari WNI keturunan sudah memiliki SBKRI. Namun demikian, dalam kenyataannya WNI keturunan seringkali merasa perlu untuk memiliki SBKRI. Dalam berbagai hal, pada kenyataannya WNI keturunan sering dimintakan SBKRI, yang mana apabila dikaji lebih lanjut, bisa jadi telah terjadi diskriminasi dan pelanggaran HAM disini. Pasal 26 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 menentukan bahwa setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keharusan menyertakan SBKRI dalam melakukan berbagai perbuatan (misalnya untuk mengurus paspor, KTP, dan sebagainya) itulah yang dapat menimbulkan pelanggaran HAM/diskriminasi di mana seharusnya setiap WNI memiliki hak untuk mendapatkan pengakuan yang sama sebagai WNI. Dengan kata lain, seseorang yang telah memiliki status WNI tidak memerlukan SBKRI. Mengenai penerbitan SBKRI itu sendiri, bukanlah diskriminasi dan bukan pelanggaran HAM karena diterbitkan atas dasar permohonan yang bersangkutan. 
3)     Dapat. Warga Negara Indonesia keturunan bisa mencalonkan diri jadi presiden. Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 dan pasal 5 huruf b UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menentukan bahwa calon presiden harus warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri. Sepanjang memenuhi syarat tersebutl WNI keturunan bisa mencalonkan diri menjadi presiden. 
4)     Setahu kami tidak ada pembatasan secara terang-terangan untuk masuk perguruan tinggi negeri seperti ITB, UI, UGM, UNPAD dan lain-lain. Mengenai pembatasan secara sembunyi-sembunyi atau terselubung, kami tidak mengetahuinya. 
5)     Tidak ada UU, PP, dan SK Menteri yang bersifat diskriminatif. Sebagai tambahan, Anda dapat melihat UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, serta Undang-undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.      Undang-Undang Dasar 1945
2.      UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
3.      UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia,
4.      UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,
5.      UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
6.      Undang-undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
7.      Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1996 Tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia
8.      Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 25 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1996





WARGA NEGARA DAN SISTEM KEWARGANEGARAAN INDONESIA

A. Warga Negara
Pengertian rakyat atau penduduk sering terkacaukan, maka kita perlu mengetahui batas-batasnya.
a. Yang dimaksud dengan rakyat suatu negara haruslah mempunyai ketegasan bahwa mereka itu benar-benar tunduk kepada Undang-Undang Dasar Negara yang berlaku, mengakui kekuasaan Negara tersebut dan mengakui wilayah Negara tadi sebagai Tanah Airnya yang hanya satu-satunya.
b. Penduduk adalah semua orang yang ada atau bertempat tinggal dalam wilayah negara dengan ketegasan telah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh peraturan Negara.
Dari batasan-batasan diatas dapat kita mengetahui bahwa dalam pengertian rakyat sering dikaitkan dengan pengertian warga negara, sedang dalam pengertian penduduk dapat mencakup pengertian yang lebih luas.
B. Sistem Kewarganegaraan
Pada asasnya ada beberapa sistem (kriteria umum) yang digunakan untuk menentukan siapa yang menjadi warga negara suatu negara. Kriteria tersebut yaitu :
1. Sistem Kewarganegaraan berdasarkan Kelahiran
a. Asas Ius Soli (Law of The Soli)
Asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan Negara tempat kelahiran.
b. Asas Ius Sanguinis (Law of The Blood)
Penentuan Kewarganegaraan berdasarkan keturunan/kewarganegaraan orang tuanya.
c. Masalah Kewarganegaraan
1) Apatride
Apatride terjadi apabila seorang anak yang Negara orang tuanya menganut asas Ius Soli lahir di Negara yang menganut Ius Sanguinis. Contoh : Seorang keturunan bangsa A (Ius Soli) lahir di negara B (Ius Sanguinis) Maka orang tsb bukan warga negara A maupun warga negara B.
2) Bipatride
Bipatride terjadi apabila seorang anak yang Negara orang tuanya menganut Ius Sanguinis lahir di Negara lain ynag menganut Ius Soli, maka kedua Negara tersebut menganggap bahwa anak tersebut warga Negaranya. Contoh : Seorang keturunan bangsa C (Ius Sanguinis) lahir di negara D (Ius Soli). Sehingga karena ia keturunan negara C, maka dianggap warga negara C, tetapi negara D juga menganggapnya sebagai warga negara,karena ia lahir di negara D.

3) Multipatride
Seseorang yang memiliki 2 atau lebih kewarganegaraan Contoh : Seorang yang bipatride juga menerima pemberian status kewarganegaraan lain ketika dia telah dewasa, dimana saat menerima kewarganegaraan yang baru ia tidak melepaskan status bipatride-nya.
2. Sistem Kewarganegaraan berdasarkan Perkawinan
a. Asas Kesatuan Hukum
Asas kesatuan hukum berangkat dari paradigma bahwa suami istri ataupun ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana sejahtera, sehat, dan tidak terpecah. Dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakatnya,suami istri ataupun keluarga yang baik perlu mencerminkan adanya suatu kesatuan yang bulat.
Supaya terdapat keadaan harmonis dalam keluarga diperlukan kesatuan secara yuridis maupun dalam jiwa perkawinan, yaitu kesatuan lahir dan batín. Dan kesatuan hukum dalam keluarga ini tidak bertentangan dengan filsuf persamaan antara suami istri sehingga sekedar mencari manfaatnya bagi sang suami saja.
b. Asas Persamaan Derajat
Menurut asas persamarataan bahwa perkawinan sama sekali tidak mempengaruhi kewarganegaraan seseorang, dalam arti masing-masing istri atau suami bebas menentukan sikap dalam menen tukan kewarganegaraanya.
Asas ini menghindari terjadinya penyelundupan hukum, misalnya seseorang yang berkewarganegaraan asing ingin memperoleh status kewarganegaraan suatu Negara dengan cara atau berpura-pura melakukan pernikahan dengan pasangan di Negara tersebut.



3. Sistem Kewarganegaraan berdasarkan Naturalisasi
Adalah suatu perbuatan hukum yang dapat menyebabkan seseorang memperoleh status kewarganegaraan, Misal : seseorang memperoleh status kewarganegaraan akibat dari pernikahan, mengajukan permohonan, memilih/menolak status kewarganegaraan.
a. Naturalisasi Biasa
Yaitu suatu naturalisasi yang dilakukan oleh orang asing melalui permohonan dan prosedur yang telah ditentukan.

b. Naturalisasi Istimewa
Yaitu kewarganegaraan yang diberikan oleh pemerintah (presiden) dengan persetujuan DPR dengan alasan kepentingan negara atau yang bersangkutan telah berjasa terhadap negara.
Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan naturalisasi digunakan 2 stelsel, yaitu :
1. Stelsel Aktif, yakni untuk menjadi warga negara pada suatu negara seseorang harus melakukan tindakan-tindakan hukum secara aktif.
2. Stelsel Pasif, yakni seseorang dengan sendirinya dianggap sebagai warga negara tanpa melakukan sesuatu tindakan hukum.
C. Sejarah Kewarganegaraan
Mengetahui tentang masalah kewarganegaraan juga melibatkan sejarah dari sistem kewarganegaraan, yang berkembang dari masa ke masa. Diawali dengan:
1. Zaman penjajahan Belanda
Hindia Belanda bukanlah suatu negara, maka tanah air pada masa penjajahan Belanda tidak mempunyai warga negara, dengan aturan sebagai berikut:
1) kawula negara belanda orang Belanda,
2) (2) kawula negara belanda bukan orang Belanda, tetapi yang termasuk Bumiputera,
3) (3) kawula negara belanda bukan orang Belanda, juga bukan orang Bumiputera, misalnya: orang – orang Timur Asing (Cina, India, Arab, dan lain-lain).
2. Masa kemerdekaan
pada masa ini, Indonesia belum mempunyai UUD. Sehari setelah kemerdekaan, yakni tanggal 18 agustus 1945, panitia persiapan kemerdekaan Indonesia mengesahkan UUD 1945. Mengenai kewarganegaraan UUD 1945 dalam pasal 26 ayat(1) menentukan bahwa “Yang menjadi warga negara ialah orang – orang bangsa Indonesia aseli dan orang – orang bangsa lain yang di sahkan dengan undang – undang sebagai warga negara,” sedang ayat 2 menyebutkan bahwa syarat – syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapan dengan undang – undang.Sebagai pelaksanaan dari pasal 26, tanggal 10 april 1946, diundangkan UU No. 3 Tahun 1946. Adapun yang dimaksud dengan warga negara Indonesia menurut UU No. 3 Tahun 1946 adalah:
(1) Orang yang asli dalam daerah Indonesia,
(2) Orang yang lahir dan bertempat kedudukan dan kediaman di dalam wilayah negara Indonesia,
(3) Anak yang lahir di dalam wilayah Indonesia.
3. Persetujuan Kewarganegaraan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB)
Persetujuan perihal pembagian warga negara hasil dari konferensi meja bundar (KMB) tanggal 27 desember 1949 antara Belanda dengan Indonesia Serikat ada tiga hal yang penting dalam persetujuan tersebut antara lain:
(1) Orang Belanda yang tetap berkewargaan Belanda, tetapi terhadap keturunannya yang lain dan bertempat tinggal di Indonesia kurang lebih 6 bulan sebelum 27 desember 1949 setelah penyerahan keddaulatan dapat memilih kewarganegaraan Indonesia yang disebut juga “Hak Opsi” atau hak untuk memilih kewarganegaraan.
(2) Orang – orang yag tergolong kawula Belanda (orang Indonesia asli) berada di Indonesia memperoleh kewarganegaraan Indonesia kecuali tidak tinggal di Suriname / Antiland Belanda dan dilahirkan di wilayah Belanda dan dapat memilih kewarganegaraan Indonesia,
(3) Orang – orang Eropa dan Timur Asing, maka terhadap mereka dua kemungkinan yaitu: jika bertempat tinggal di Belanda, maka dtetapkan kewarganegaraan Belanda, maka yang dinyatakan sebagai WNI dapat menyatakan menolak dalam kurun waktu 2 tahun.
4. Berdasarkan undang – undang nomor 62 tahun 1958
Undang – undang tentang kewarganegaraan Indonesia yang berlaku sampai sekarang adalah UU No. 62 tahun 1958, yang mutlak berlaku sejak diundangkan tanggal 1agustus 1958. Beberapa bagian dari undang – undang itu, yaitu mengenai ketentuan – ketentuan siapa warga negara Indonesia, status anak – anak an cara – cara kehilangan kewarganegaraan, ditetapkan berlaku surut hingga tanggal 27 desember 1949.
Hal – hal selengkapnya yang diatur dalam UU No. 62 tahun 1958 antara lain: (1) siapa yang dinyatakan berstatus warga negara Indonesia (WNI), (2) naturalisasi atau pewarganegaraan biasa,(3) akibat pewarganegaraan, (4) pewarganegaraan istimewa, (5) kehilangan kewarganegaraan Indonesia, dan (6) Siapa yang dinyatakan berstatus asing.
Menurut undang – undang :
1) Mereka berdasarkan UU/ peraturan/perjanjian, yang terlebih dahulu (berlaku surut)

2) Mereka yang memenuhi syarat – syarat tertentu yang ditentukan dalam undang – undang itu.
Selain itu, mungkin juga seorang Indonesia menjadi orang asing karena :
1) Dengan sengaja, insyaf, dan sadar menolak kewarganegaraan RI,
2) Menolak kewarganegaraan karena khilaf atau ikut – ikutan saja,
3) Di tolak oleh orang lain, misalnya seorang anak yang ikut status orang tuanya yang menolak kewarganegaraan RI.

D. Masalah Kedudukan Hukum Bagi Orang Asing
Sesuai dengan pasal 38 UU No. 9 Tahun 1992 tentang keimigrasian, menyatakan pengawasan terhadap orang asing di Indonesia meliputi: pertama, masuk dan keluarnya ke dan dari wilayah Indonesia, kedua, keberadaan serta kegiatan orang asing di wilayah Indonesia. Adapun tugas pengawasan terhadap orang asing yang berada di Indonesia dilakukan oleh menteri kehakiman dengan koordinasi dengan badan atau instansi pemerintah yang terkait.
Masalah lain yang berkaitan dengan orang asing adalah tentang perkawinan campuran, yaitu perkawinan antar a dua orang yang berbeda kewarganegaraan. Dan yang paling menimbulkan persoalan serius adalah perkawinan campuran antar-agama.
1. Perkawinan campuran antar-golongan (intergentiel)
Bahwa hukum mana atau hukum apa yang berlaku , kalau timbul perkawinan antara dua orang, yang masing – masing sama atau berbeda kewarganegaraannya, yang tunduk pada peraturan hukum yang berlainan. Misalnya, WNI asal Eropa kawin dengan orang Indonesia asli.
2. Perkawinan campuran antar-tempat (interlocal)
Yakni perkawinan antara orang – orang Indonesia asli dari lingkungan adat. Misal , orang Minang kawin dengan orang jawa.
3. Perkawinan campuran antar-agama (interriligius)
Mengatur hubungan (perkawinan) antara dua orang yang masing – masing tunduk pada peraturan agama yang berlainan.
Dalam tataran praksis perkawinan campuran antar-agama tidak dikenal di Indonesia. UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan secara tegas tidak menganut perkawinan campuran antar-agama.
Berkaitan dengan status istri dalam perkawinan campuran, maka terdapat dua asas:
a) Asas mengikuti, maka suami/istri mengikuti suami/istri baik pada waktu perkawinan berlangsung, kemudian setelah perkawinan berjalan.
Pasal 26 UU Kewarganegaraan menyatakan :
Ayat (1) perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan laki – laki warga negara asing kehilangan kewarganegaraan RI jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
Ayat (2) Laki – laki warga negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara asing kehilangan kewarganegaraanya RI jika menurut hukum asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.
b) Asas persamamerataan
Menurut asas ini, bahwasanya perkawinan tidak mempengaruhi sama sekali kewarganegaraan seseorang, dalam arti mereka (suami atau istri) bebas menentukan sikap dalam menentukan kewarganegaraan asal sekalipun sudah menjadi suami istri.
Ketentuan ini di atur dalam pasal 26 ayat (3) UU kewarganegaraan , bahwa perempuan atau laki – laki WNI yang menikah dengan WNA tetap menjadi WNI jika yang bersangkutan memiliki keinginan untuk tetap menjadi WNI. Adapun mekanismenya dengan, yaitu dengan jalan mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada pejabat atau perwakilan republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda.

https://dwiyongjung.wordpress.com/2013/05/10/warga-negara-dan-sistem-kewarganegaraan/